Seandainya Saya Terdakwa Pencemaran Nama

Selama 6 tahun ini sudah lebih dari 32 orang terancam hukuman penjara 6 tahun gara-gara pasal pencemaran nama di UU ITE. Pastikan jangan bertambah lagi.

Suasana Persidangan Benhan di PN Jaksel (dok. Dhenok Change.org)

Suasana Persidangan Benhan di PN Jaksel (dok. Dhenok Change.org)

PADA hari Rabu, 5 Februari 2014, saya bisa merasakan langsung perasaan seorang terdakwa kasus pencemaran nama. Saya mungkin tidak akan cukup sabar seperti Benny Handoko, terdakwa yang saat ini duduk di hadapan majelis hakim PN Jakarta Selatan untuk mendengar vonis atas kasus pencemaran nama yang dituduhkan padanya oleh politisi bernama Misbakhun. Saya mungkin akan meronta dan melawan sebisa yang sanggup saya lakukan atas ketidakadilan sistem hukum kita.

Penerapan pidana dengan sanksi pemenjaraan bagi mereka yang menyatakan pendapatnya adalah hal paling buruk, maaf koreksi, paling konyol yang pernah ada. Kita bukan lagi hidup di zaman Suharto yang meniadakan kritik-kritik terbuka. Kita bukan lagi hidup di zaman Orde Baru ketika mereka yang vokal dijerat hukum dan dimasukkan ke penjara. Produk-produk hukum yang represif dengan pasal karet sudah lama dihapuskan dari negara ini. Namun kini, salah satunya muncul lagi dalam bentuk pasal 27 ayat 3 di UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE.

Dalam praktiknya, pasal 27 ayat 3 UU ITE dipakai bukan untuk mencegah tindak pidana pencemaran nama, tetapi malah dijadikan celah oleh mereka yang punya kuasa untuk membungkam mereka-mereka yang kritis. Dalam 6 tahun, ada lebih dari 32 orang terancam hukuman penjara 6 tahun. Mereka terdiri dari ibu rumah tangga, pegawai, jurnalis, anak sekolah dll. Tahun lalu, rata-rata setiap bulan sekali terjadi kasus semacam ini. Vonis hukuman tertinggi yang pernah dijatuhkan adalah 3 tahun pada kasus Anthon Suwahyu di PN Solo, Jawa Tengah. Dan Southeast Asia Freedom of Expression Network/SAFENET memprediksi pada tahun ini akan lebih banyak lagi orang yang terjerat hukum pasal pencemaran nama di UU ITE. Lebih parah lagi, situasi ini terus dibiarkan oleh negara karena mereka seolah enggan untuk merevisi. Revisi UU ITE yang sedianya akan masuk dalam agenda Prolegnas 2014 tidak terjadi seperti yang digadang-gadang.

Benny Handoko, yang akrab dikenal dengan nama akun twitternya benhan, pada sidang yang berjalan terlambat karena jaksa lupa membawa toga dan hakim menyampaikan pertimbangan yang condong mengabaikan banyak bukti yang diajukan tim pengacara benhan, akhirnya divonis 6 bulan penjara — yang tidak perlu dijalani — dan masa percobaan 1 tahun lamanya. Vonis ini adalah sebuah pesan buat kita, buat saya dan juga buat Anda: jangan berkata apa-apa kalau tak mau masuk penjara. Pesan itu vulgar terbaca.

Bagi saya yang pernah nyaris tersandung situasi yang sama tepat setahun lalu, persidangan ini bisa menjadi sinyalemen betapa orang-orang biasa seperti Prita Mulyasari, Ade Armando, Deddy Endarto, Benny Handoko, Wahyu Dwi Pranata dll. yang tidak punya kendali kuasa dan uang tidak terlindungi oleh hukum dan semakin tidak dipedulikan dan diabaikan haknya berekspresi kritis oleh negara.

Dalam sidang saya, pelapor bukan politisi seperti Misbakhun, tetapi penulis terkenal Andrea Hirata. Jaksa PU dan susunan hakim yang menghakimi saya bisa jadi sama karena domisili saya tinggal masuk wilayah hukum PN Jakarta Selatan. Bisa jadi saya mendapat vonis yang lebih berat/ringan. Besarnya hukuman bukan intinya. Tetapi status sebagai orang bersalah yang dihukum pidana karena pencemaran nama itulah yang akan tersemat di dada saya. Selamanya. Bersalah. Keluarga saya akan malu. Anak saya akan menganggap bapaknya pecundang. Orang sekeliling saya akan memandang hina. Tanpa mereka peduli, apa yang sebenarnya saya sampaikan itu sebuah kebenaran.

Seandainya saya terdakwa pencemaran nama, maka perjuangan menghentikan pemidanaan dan pemenjaraan dengan pasal 27 ayat 3 UU ITE adalah harga mati demi tak perlu lagi ada lebih banyak orang kritis dibungkam tak boleh bicara. Sekalipun untuk kali ini saya bukan terdakwa, upaya itu adalah kewajiban semua kita, bila peduli pada orang-orang di sekitar kita. Sulit saya membayangkan publik diam saja atas persoalan ketidakadilan dalam sistem hukum kita ini. Sulit mata saya terpejam dan tidur nyaman, sembari membayangkan orang-orang yang nantinya dipenjara hanya karena vokal bicara di sosial media. Sulit…

[dam]

3 responses to “Seandainya Saya Terdakwa Pencemaran Nama

  1. Ping-balik: Ada Beda Berekspresi dan Menuduh | Blontank Poer·

  2. Terima kasih atas responnya, Pakde. Secara internal, SAFENET sudah menyatakan tidak melihat kasus Benhan sebagai contoh yang tepat untuk melakukan kampanye kebebasan berekspresi dengan alasan yang sama dengan Pakde. Sampai sekarang, soal contoh yang tepat itu masih dicari. Kemungkinan besar yang akan menjadi contoh berikutnya adalah Kasus Deddy Endarto, budayawan yang membela situs Trowulan yang kemudian diperkarakan oleh pengusaha. Lihat http://id.safenetvoice.org/2013/12/kasus-deddy-endarto/

    Ini perlu disampaikan, agar Pakde tidak keliru menangkap maksud terbitnya tulisan di blog pribadi saya. Itu bukan bentuk dukungan kepada Benhan, tidak sama sekali, tetapi sebuah bentuk membangun pendidikan publik soal siapapun bisa menjadi terdakwa karena pencemaran nama di dunia maya. FYI Benhan sudah mengakui bersalah dan telah diputus bersalah. Tetapi itu bukan intinya. Intinya adalah bagaimana menyatukan segala daya kita yang telah melek mata pada persoalan ini agar mau sinergi bekerjasama.

    Kasus Muhammad Arsyad http://id.safenetvoice.org/2013/09/kasus-muhammad-arsyad/ sudah didokumentasikan dan berharap agar rekan kerja di Makassar bisa mengawal kasus ini. Ini semua proses yang sedang berjalan. Mohon doa dan bimbingan.

    [dam]

Tinggalkan Balasan ke blogthewayitis Batalkan balasan