Pramoedya Ananta Toer Juga Manusia

Meskipun sudah 7 tahun berlalu sejak meninggalnya, sosok Pramoedya Ananta Toer tetap diingat masyarakat Indonesia. Dikenang sebagai sastrawan yang berjuang, di lain pihak tetaplah kenang dirinya sebagai manusia semata.

Pramoedya-Ananta-Toer-650

SETIAP tanggal 30 April, kita mengenang suatu peristiwa penting dalam dunia perbukuan di Indonesia khususnya, dan di Indonesia pada umumnya: meninggalnya Pramoedya Ananta Toer pada tanggal 30 April 2006. Ia adalah sastrawan yang berkali-kali dinominasikan mendapat penghargaan Nobel Sastra. Peristiwa ini menandakan ada upaya dari masyarakat untuk tidak melupakan sosok penulis yang selama hidupnya selalu dipinggirkan oleh kekuasaan.


Apa yang membuat masyarakat tidak bisa melupakan Pramoedya Ananta Toer? Karena ia adalah bukti hidup “saat kata menjadi senjata”. Pada tahun 1988, Pramoedya mengatakan, “Saya makin bingung dengan Indonesia ini. Takut dengan pengarang dan dipenjarakannya saya selama 14 tahun tanpa pengadilan. Padahal di belakang saya selain sepi sunyi tak ada deretan tentara, persenjataan canggih, atau pembunuh-pembunuh bayaran. Heran saya.”

Keheranan Pramoedya ini sebenarnya tidak cukup kuat argumennya karena jelas betul riwayat politik dan penulisan Pramoedya memang tidak bisa dikesampingkan begitu saja oleh rezim Orde Baru. Apalagi Pramoedya memegang ingatan sejarah akan rezim yang baru saja ditumbangkan oleh Orde Baru. Ia adalah citra manusia Indonesia yang mengalami penjajahan demi penjajahan, demokrasi demi demokrasi, gerakan demi gerakan. Tentara perlu “melumpuhkan” dirinya dan membuat ia “dilupakan”, tetapi Pramoedya Ananta Toer ternyata tidak bisa dilumpuhkan dan tidak bisa dilupakan. Meski tentara memenjarakannya selama 14 tahun dimana 10 tahun ia berada di pulau Buru, lalu karya-karyanya dibakar. Tetapi generasi muda tetap menganggap penting pikiran-pikiran yang ditinggalkan Pramoedya yang telah ia tuliskan di buku-bukunya dan tindakan-tindakannya.

Menulis untuk Hidup

Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, 6 Februari 1925, sebagai anak sulung pasangan Mastoer dan Oemi Saidah. Mastoer berasal dari kalangan keluarga yang dekat dengan agama Islam. Ibunya anak penghulu Rembang. Keduanya anak orang terdidik. Mastoer seorang guru sekaligus aktivitis politik di Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Ayah Pramoedya memiliki cita-cita dalam dunia pendidikan yang sejalan dengan Taman Siswa dan terlibat dalam gerakan nasional dengan melawan tekanan dan tuntutan penjajah, juga sangat aktif di kebudayaan.

Ibunya, Oemi Saidah sendiri orang yang lembut dan lemah. Dia sering sakit-sakitan. Ketika ayahnya tak lagi bertanggung jawab terhadap keluarga, ibunyalah yang mengambil alih semua tanggung jawab. Pengalaman masa kecil itu yang menjadi bangunan kisah dalam kumpulan cerita di Tjerita dari Blora (1952).

Saat kehidupan kian susah, Pramoedya Ananta Toer menjadikan kegiatan menulis sebagai sumber nafkah. Adik-adiknya pun diikutsertakan dalam kegiatan ini, sehingga Pramoedya bisa menghidupi adik-adiknya pasca meninggal ibu yang dicintainya. Karyanya kaya akan kisah manusia yang dibendung oleh kekecewaan, sebagai korban, tak lain cerminan dari kisah hidupnya sendiri. Dalam cerita “Blora”, “Dia Jang Menyerah”, dan Bukan Pasar Malam Pramoedya Ananta Toer secara sadar menggambarkan kehidupan keluarganya di Blora.

Sebagaimana Pramoedya menulis sendiri:

“Cerita selamanya tentang manusia, kehidupannya, bukan kematiannya. Ya biarpun yang ditampilkannya itu hewan, raksasa atau dewa ataupun hantu. Dan tak ada yang lebih sulit dipahami daripada sang manusia.. jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biarpun penglihatanmu setajam mata elang; pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka daripada dewa, pendengaranmu dapat menangkap musik dan ratap tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput.”

Dalam kisahnya, dengan mudah kita temukan Pramoedya sebagai manusia yang terlibat dalam banyak hal, seperti dalam perjuangan bawah tanah gerilyawan Pembela Tanah Air (Peta) melawan penjajah menjadi garis utama plot novel Perburuan (1950) dan penderitaan masyarakat Jawa digambarkan dalam cerita “Dia Jang Menjerah” dalam Tjerita dari Blora. Pengalaman Pram saat revolusi juga tersirat pada cerpen “Dendam”, “Blora”, dan “Jalan Kurantil No. 28” dalam kumpulan cerpen Subuh, Tjerita-Tjerita Pendek Revolusi (1950); “Lemari Antik”, “Kemana??”, dan “Kemelut” dalam kumpulan cerpen Pertjikan Revolusi (1950), begitu pula pada roman Keluarga Gerilja, Kisah keluarga manusia dalam tiga hari dan tiga malam (1950), roman pendek Bukan Pasar Malam (1951), serta roman Di Tepi Kali Bekasi (1951).

Ia menuliskan kisah hidupnya sendiri untuk dapat menghidupi adik-adiknya, menyelamatkan perahu kehidupannya dari keterpurukan ekonomi.

Menulis Untuk Korban

“Revolusi menghendaki segala-galanya – menghendaki korban yang dipilihnya sendiri. Demikian hebatnya revolusi. Kemanusiaanku korbankan meskipun sekarang jiwa dan raganya terpaksa dikorbankan. Namun, itulah paksaan yang dipaksanya pada dirinya sendiri untuk menjalani kekejaman dan pembunuhan agar orang yang ada di bumi yang dipijak ini tak perlu lagi melakukan seperti itu untuk meneruskan kehidupan mereka bahkan boleh terus menikmati kehidupan mereka dengan penuh rasa kemerdekaan.”

Pramoedya memiliki sebuah ideologi yang dipegang erat. Dalam karya-karyanya, ia selalu menulis tentang korban. Wajar, bila tokoh karyanya selalu adalah korban. Bukan korban penjajahan bangsa asing, tetapi korban bangsanya sendiri, korban sistem yang diskriminatif dan tak manusiawi. Keberpihakan Pramoedya terhadap rakyat jelata dan tertindas tetap terasa pada karyanya.

Pada akhirnya pemikiran Pramoedya menjadi sejalan dengan gaya Realisme Sosialis yang diusung oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), organisasi kebudayaan yang berada di bawah naungan Partai Komunis Indonesia (PKI). Realisme sosialis mengakarkan kreativitas pada kenyataan dan Pramoedya mendasarkan kenyataan pada sejarah yang berpihak kepada rakyat kecil.

Karya fiksi Pramoedya yang menyuratkan ideologi itu sendiri sangat sedikit. Salah satunya cerpen “Paman Martil” yang dimuat dalam kumpulan cerpen Jang tak terpadamkan (1965) yang diterbitkan untuk menyambut ulang tahun ke-45 PKI. Dengan kualitas artistik yang jauh lebih baik ketimbang cerpen tersebut, Profesor AA Teeuw juga memasukkan roman Gadis Pantai (1987) sebagai karya sastra ideologi Pramoedya.

Sejarah Sebagai Bahan Menulis

Tampak Pramoedya mengamini betul apa yang ditulis Maxim Gorki bahwa setiap orang harus tahu tentang sejarahnya. Itu sebabnya sebelum menulis karya-karyanya, Pramoedya akan menghabiskan cukup banyak waktu untuk melakukan riset sejarah. Catatan-catatan dari Pulau Buru (1995), Pramoedya menekankan bahwa turba bukanlah turun secara fisik, yaitu turun ke lapisan bawah masyarakat, melainkan turun ke sejarah, ke dasar. Profesor AA Teuw yang meneliti karya Pramoedya juga mengatakan karya-karyanya adalah hasil riset mendalam, berdasarkan bahan kepustakaan dasawarsa pertama abad ini.

Karyanya yang kental bahan-bahan sejarah adalah tetralogi Karya Buru, yang terdiri atas Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988). Dengan motif yang sama, kita juga dapat menyebut roman Pramoedya paling panjang, yakni Arus Balik (1995) termasuk dalam karyanya yang kental sejarah.

Napas ideologis realisme sosialis Pram juga terasa dalam karya-karya tersebut. Ideologi penulisannya yang demikian itu membuat Pramoedya disisihkan dari sejarah “resmi” kesusastraan modern Indonesia. Total 22 karyanya, baik fiksi dan non-fiksi dilarang oleh pemerintah. Dirinya pun dipenjarakan dan dibuang tanpa mengalami proses pengadilan.

Tak Melupakan Kemanusiaan Pramoedya

Sejak pembebasannya 14 tahun kemudian, Pramoedya menyadari dirinya adalah korban dari sistem yang korup, manipulatif dan destruktif. Di negerinya sendiri, Pram nyaris tak pernah dihargai, apalagi oleh pemerintah. Yang ada, ketika Pramoedya menjadi penerima Ramon Magsaysay Award pada 1995, cukup banyak penulis yang menolak dan bahkan Mohtar Lubis mengembalikan penghargaan yang pernah diterimanya tahun 1958.

Makam Pramoedya Ananta Toer di Karet Bivak (dok. pribadi)

Makam Pramoedya Ananta Toer di Karet Bivak (dok. pribadi)

Tak heran apabila kemudian Pramoedya terbakar amarah sendirian. Ia merasa frustasi karena keadilan tak kunjung bisa ia rasakan. Sampai akhir hayatnya, ia masih menjadi korban. Rumahnya yang dirampas tentara tak kunjung dikembalikan, lalu ia tak bisa lagi menulis seluruh karyanya yang dibakar oleh Angkatan Darat, seperti Panggil Aku Kartini 2 dan lebih parah lagi, 22 karya pemikirannya belum dicabut larangannya oleh Kejaksaan Agung.

Dalam penulisan sejarah kesusastraan Indonesia, generasi muda mencoba mengembalikan nama-nama mereka yang berada segaris ideologi dengan Pramoedya Ananta Toer untuk kembali diingat oleh masyarakat. Bukan karena keberpihakan, tetapi karena ingin mengembalikan haknya untuk diingat sebagai bagian dari manusia Indonesia. Generasi ini seolah setuju dengan The New York Times yang pada 1 Mei 2006 menobatkannya sebagai sastrawan yang paling banyak berkorban untuk mendidik bangsanya.

Masih banyak yang harus diupayakan agar Pramoedya kembali menjadi manusia, bukan lagi hantu, momok yang perlu ditakuti. Mengenang kematiannya sebagai peristiwa penting adalah satu jalan untuk mengarah pada upaya-upaya lain untuk mengembalikan hak-haknya sebagai manusia Indonesia.

[dam]

7 responses to “Pramoedya Ananta Toer Juga Manusia

  1. Ping-balik: Pramoedya Ananta Toer Juga Manusia « Sunar Budi·

  2. Ada ketertarikan saat mndengar nama Pramudya Ananta Toer. Seolah ingin mgetahui lbh lanjut sosok Sastrawan Patriotisme ini…
    Ingin menikmati tiap kalimat yg dituangkan Beliau smasa hidupnya. ^_^ Salam Damai Pak Pram…

  3. Membaca karya-karya pram seolah kita diajak menyelami sejarah kelam Indonesia, Sejarah kelam pemerintahan kita yang dulu, iya walau kelam kita harus banyak tau dan memahami, agar kita bisa lebih bijaksana dalam mengambil keputusan, dn tidak mengulangi kesalahan yang menjijihkan seperti orde baru dan penjajah lakukan.

Tinggalkan komentar