Ditulis Asal-asalan dan Meracau Bisakah Disebut Puisi?

Puisi adalah sebuah ikhtiar paling jujur yang dimiliki seorang manusia untuk menggenapkan perasaannya. Lalu apakah yang ditulis, yang dibahasakan dengan lisal – akronim dari “tuLISan asAL-asalan” seperti dalam karya Sulis Gingsul atau racauan seperti dalam karya Gieb mengurangi ikhtiar itu? Tentu saja tidak.

13227559461457194895

Sumber: http://gembiraloka.wordpress.com blognya Sulis Gingsul

PERTANYAAN yang selalu saya ajukan setiap kali berhadapan dengan penulis puisi adalah kejujuran dalam berproses dan kebahasaan. Dua hal ini yang menjadi indikator penting bagi saya untuk menilai ikhtiar karyanya. Untuk dapat menemukan alasan yang pertama dan terutama mengapa seseorang menulis puisi bukanlah perkara mudah. Karena seringkali justru penulis itu sendiri tidak menemukan alasan utamanya. Banyak yang menulis tanpa sadar. Yang juga menarik adalah saat sebab yang utama itu kemudian bertemu dengan routine-routine yang sudah berkali-kali ia latih dan dianggap sebagai bentuk yang paling cocok mereprentasikan dirinya dalam bentuk tulisan — menurut saya ini adalah hal tersulit kedua yang muncul belakangan.

Maka ketika saya berhadapan dengan lisal-lisal dari Sulis Gingsul, saya mencoba memahaminya baik-baik. Lisal adalah gaya tulisan Sulis yang kerap ia nyatakan sebagai bentuk yang berbeda dari puisi atau sajak. Lisal sendiri adalah akronim dari tuLISan asAL-asalan.

aku mencintai hal-hal sederhana:
bunga, kicauan burung, senyummu,
dan mimpi-mimpi kita
tak ada yang istimewa di dunia ini
bunga bermekaran kemudian layu
telur menetas kemudian burung berkicau
kau tak akan pernah kehabisan senyum
dan mimpi-mimpi selalu tersedia

aku mencintai hal-hal sederhana itu
untukmu, semoga cukuplah kutuliskan semuanya
di dalam puisi yang sederhana.

Demikian salah satu lisal Sulis berjudul “Puisi Sederhana”. Apa yang tersaji menurut saya jauh dari kesan asal-asalan. Saya mencium aroma Sapardi Djoko Damono dari baris pertama: Aku mencintai hal-hal sederhana: tetapi juga kesahajaan Linus Suryadi dalam menghadirkan yang prosa dalam bentuk puisi. Sulis menulis dengan sebuah kesadaran sebetulnya pada setiap kata yang ditulisnya. Ia tidak sedang bermain-main (baca: asal-asalan) dengan kata, seperti Sutardji Calzoum Bachri menjungkirbalikkan pemaknaan kata. Sulis justru menghadirkan tulisan yang mampat: efektif menyampaikan perasaannya paling jujur.

Dalam puisi “Perjalanan”, lisal Sulis kembali lagi mengundang rasa penasaran saya. Dua bait puisinya, berbunyi demikian:

aku telah membongkar isi rumah. lihatlah
baju, radio, kulkas, buku-buku, dan ranjang
barang-barang yang dulu sangat kuinginkan
dengan bersusah-susah aku telah mengumpulkan
semua yang dulu baru kini telah menjadi usang
beberapa barang tidak lagi kuperlukan, mesti dibuang
janganlah memberatkan langkah, sebab aku harus pergi

Seolah kita sedang membayangkan seseorang yang sedang berkemas sebelum pergi berjalan. Ia memilih tidak membawa yang memberatkan perjalanannya. Baris selanjutnya berbunyi:

cuma ada beberapa yang perlu kubawa–cuma sedikit
kenangan-kenangan, rindu-rindu, dan mimpi-mimpi
–bekal pergi ke tempat yang belum pernah kuimpikan

Sekali lagi saya tidak menemukan yang asal-asalan itu. Lalu lisal Sulis berlanjut demikian:

di tempat baru, akan kutemukan orang-orang baru,
barang-barang baru, detik-detik yang akan segera berlalu
dan sebuah peringatan bahwa tak ‘kan ada yang bertahan
tak ‘kan ada yang awetnya melebihi kenangan.
di sana, aku sekolah
mata pelajarannya cuma dua
mata pelajaran tersenyum
mata pelajaran rela

ujiannya pun cuma dua:
ujian diberi yang tak kupinta
ujian kehilangan yang kucinta.

“kau perlu banyak belajar agar bisa tamat
sampai kepadaKu” kataMu

kubayangkankan Engkau terpingkal-pingkal.

Di akhir puisi ini, saya tersenyum geli. Itu sebabnya saya mencium aroma Joko Pinurbo meskipun saya tidak yakin berasal dari puisinya yang mana. Mungkin karena ada adegan tuhan dalam bait terakhir itu. Saya menyusun praduga mengenai lisal-lisal Sulis Gingsul ini yang di akhir tulisan akan saya padukan dengan apa yang saya temukan dalam racauan Gieb.

Racauan Gieb terkumpul dalam buku “Dialah Ini Itu”. Dan tampaknya Gieb akan terus membantah apa yang ia tulis di buku ini adalah puisi. Karena sepertinya ia mengemohi “puisi” yang telah telanjur terhegemoni oleh yang liris, yang rimatik, yang pamflet, yang lucu, puisi pada umumnya yang kita temukan dalam puisi-puisi yang ditulis Sapardi Djoko Damono, Gunawan Maryanto, Jokpin, Rendra. Mungkin itulah alasannya mencantumkannya sebagai “racauan”.

Sebuah bentuk barukah yang sedang digagasnya? “Racauan”-nya lebih mengedepankan yang prosaik, dengan tuturan pendek, dengan diksi yang menantang kecerdasan pembacanya. Mengangkat yang prosaik, sekilas saya mengingat Wendoko dan Kiswondo. Tetapi sebelum membandingkannya, saya ingin terlebih dulu mengembalikan pemahaman akan puisi jauh sebelum terhegemoni oleh macam-macam pendapat setelahnya.

Bahwa ketika puisi dituliskan, kita akan bersinggungan lagi dengan rima, aliterasi, asonansi, irama, dan repetisi, yang semua berkaitan dengan bunyi — asal-muasal kata itu sendiri. Puisi tampaknya sampai dengan hari ini masih bersandar ke bunyi: mulai dari gaya pantun lama sampai ke tembang, puisi lama hingga baru, sejatinya tetap tunduk pada hakikat kelisanannya, yakni bunyi.

Bagaimanakah puisi Gieb yang berada dalam kumpulan “racauan” ini berbunyi? Dalam “Sengal”, Gieb menulis demikian:

Nafas kita begitu sengal ketika pada sebuah jeda menemu diri yang menggigil di belakang konstelasi. Mengimajinasikan geografis yang sesak dengan sistem kode digital. Saat ciuman masa lalu dan masa depan bisa kita ciptakan secara simultan… Kita membeku. Dalam persepsi kuasa tubuh yang meninggalkan rasionalitas. Bahwa yang terbatas adalah yang tak terbatas. Menggeser spekulasi sebuah rindu yang mencengkeram.

Dalam narasi tadi, kesadaran yang kita pahami sebagai sumber kebenaran personal bahkan bisa dipertanyakan kembali karena kesadaran begitu mudah digoyahkan. Rasionalitas yang tali-temali dengan kesadaran pun tampaknya juga ikut goyah, manakala dihadapkan pada ciuman, rindu, hingga wajar bila kemudian kita tersengal. Gieb sedang berbicara tentang banyak hal dalam racauan “sengal”: kesadaran/rasionalitas/pikiran yang terdefinisikan sebagai sumber kebenaran personal pun bisa patah/tumpul manakala dihadapkan pada kehendak tubuh.

Lalu apakah tubuh itu? Gieb menjawabnya demikian dalam “Samar”:

Begitulah. Kita menangkap semesta yang saling berkaitan. Tubuh mempengaruhi pikiran. Pikiran mempengaruhi tubuh. Energi biologis menjadi luapan semangat. Sebaliknya luapan hati menjadi letupan tubuh yang menggagas percintaan…

Maka, inilah yang sedang disampaikan Gieb dalam racauannya. Ia berbicara banyak juga tentang bagaimana memaknai tubuh, bagaimana mendekonstruksi tubuh untuk memahami peta-petanya, mendefinisikan rindu, memaknai secara baru realitas yang sudah terlanjur didefinisikan oleh banyak orang dan dipahami secara umum. Dan tentu saja banyak kisah persetubuhan dan percintaan. Aku tak tahu benar bagaimana cara memahaminya kisah cinta itu selain mencoba membacanya dengan hati-hati, seperti yang Gieb tulis dalam “Setubuh”:

Sesungguhnya bila Dia menghendaki sesuatu, hanya dengan perintah “Bersetubuhlah!” Maka jadilah sebuah eros. Meski dengan sederhana. Seperti diksi yang langka. Dan aku sia-sia saja memahaminya.

Teks “racauan” Gieb tampak begitu pampat, termaktub dalam ujaran yang pendek, yang bahkan hanya bisa terdiri dari satu kata, namun kompleks. Kata demi kata seolah “mahluk hidup” yang saling bersahutan, saling melengkapi, saling berkejar sehingga bunyinya, paling tidak menurutku amatlah ramai dan cenderung gaduh. Lupakan bunyi yang damai dan meliuk indah mempermainkan rima! Lupakan kesederhanaan! Lupakan semua! Teks-teks Gieb seperti menerjang, menghantam semua batasan, mendobrak dengan penuh semangat dari kedalaman jiwanya, dihadirkan utuh tanpa sebuah eufemisme, begitu saja terhidang isi perut pikirannya ke hadapan pembaca.

Terhadap bunyi yang gaduh demikian, pembaca harus pandai-pandai menyimak makna di balik kegaduhan yang ditawarkan. Dan terus terang, saya tertarik untuk membahas pemaknaan di balik setiap kegaduhan racauannya. Apa yang hendak disampaikannya? Apa yang menjadi kegelisahannya?

Sensasi barangkali itu yang pertama-tama akan kita temui dalam karya Gieb. Terutama karena bentuknya yang anomali. Karena cara tuturnya yang anomali. Tetapi tidak pada pesannya, karena sebuah racauan pun tentulah sedang menyampaikan sebuah gagasan, yang seabsurd apapun tetaplah perlu untuk dimengerti.

Sehingga di akhir opini ini, saya berpendapat baik lisal-lisal Sulis Gingsul maupun racauan-racauan Gieb sejatinya masih bernama puisi, tetapi bukan pertama-tama karena bentuk, kemiripan, atau teknik, melainkan karena dalam keduanya saya masih menemukan ikhtiar paling jujur yang dimiliki manusia untuk menggenapkan perasaannya.

[dam]

Lisal-lisal karya Sulis Gingsul dapat dibaca di blog: http://gembiraloka.wordpress.com dan racauan Gieb dapat dibaca dalam buku “Dialah Ini Itu” terbitan Mijil Publisher, Juli 2010.

6 responses to “Ditulis Asal-asalan dan Meracau Bisakah Disebut Puisi?

  1. Puisi kadang bahasanya njelimet, susah dipahami, tapi saya suka bacanya X)
    Tapi masih perlu belajar nih buat memahami isinya…

    • Memang ada puisi yang demikian, contohnya puisi Nirwan Dewanto, kemudian juga ada puisi-puisi Afrizal Malna… Saya sendiri bukan penikmat puisi yang demikian. Lebih suka menikmati puisi yang lugas, yang jujur seperti Joko Pinurbo, Chairil Anwar, atau Linus Suryadi.

Tinggalkan Balasan ke damdubidudam Batalkan balasan