Saat Pustaka Jaya Hampir Tiada, Kita Bisa Apa?

Bagi para pembaca buku, terutama yang besar di periode tahun 70 hingga 80-an, tentu tak asing dengan nama penerbit Pustaka Jaya. Nama Pustaka Jaya bahkan hampir ‘generik’ untuk menyebut sebuah penerbitan yang selalu menerbitkan buku-buku bacaan yang bermutu. Selain itu, nama sastrawan Ajip Rosidi yang membesarkannya juga lekat dengan penerbitan yang satu ini.

Siapa sangka, saat ini Pustaka Jaya hampir tiada. Dari keterangan Ahmad Rivai, manajer Pustaka Jaya, terlontar masalah yang terus mengelayuti Pustaka Jaya: buku-bukunya tidak lagi laku. “Kalau tidak ada perkembangan, mungkin lebih baik Pustaka Jaya ditutup saja,” demikian kata Rivai. Ribuan buku dari 21 judul buku yang dicetak ulang teronggok di gudang karena batas waktu penjualan di toko buku sudah habis. Padahal dari judul-judul buku tersebut, tak kita sangsikan lagi derajat kesusatraannya.

Semisal karya klasik Oidipus Sang Raja karya Sophokles, yang diterjemahkan dengan demikian apik oleh almarhum WS Rendra, sang burung merak. Karya ini adalah drama ala Yunani Kuno berbentuk ode, yaitu semacam puisi yang dinyanyikan. Kidung yang indah meramu cerita yang begitu hebat dan saya dengar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, buku ini salah satu buku yang wajib dibaca oleh mahasiswa.

Sebutlah buku lainnya. Dataran Tortilla karya John Steinbeck yang juga hadir pada publik pembaca Indonesia lewat alih bahasa yang dikerjakan Djokolelono. Bukan saja karena ditulis oleh sastrawan Amerika, tetapi oleh karena terbitnya novel terjemahan ini, lahir pula karya lain. Ahmad Tohari, semisal, mengakui bahwa lahirnya trilogi Ronggeng Dukuh Paruk sangat dipengaruhi dari hasil pembacaannya pada novel Dataran Tortilla ini.

Saya masih bisa menyebutkan buku terjemahan lainnya, seperti Monte Cristo-nya Alexandre Dumas dan yang tak boleh lupa adalah terjemahan Lelaki Tua dan Laut karya Ernest Hemingway yang secara piawai diterjemahkan oleh Sapardi Djoko Damono sehingga hadir sebagai bacaan yang hidup dan humanis. Kualitas terjemahan karya ini jauh melampaui dua versi terjemahan lain yang pernah diterbitkan belakangan ini.

Menurut saya, sumbangsih Pustaka Jaya melangkah lebih dulu ketimbang berbagai penerbit yang kini berlomba-lomba menerbitkan karya-karya sastra klasik besar sekarang ini. Tetapi bukan itu yang terutama. Bukan karena ia lebih dulu, tetapi dalam sejarah penerbitannya, ada banyak ‘harta karun’ yang ada dalam terbitan Pustaka Jaya yang akan lenyap sekiranya Pustaka Jaya ditutup dan generasi berikutnya tak akan mudah mendapatkannya secara mudah.

Paling tidak ada 900-an judul buku yang telah diterbitkan Pustaka Jaya. Mereka ada di bawah Seri Buku Bacaan Bergambar yang ditujukan untuk anak-anak yang baru pandai membaca, Seri Pustaka Anak untuk usia 10-15 tahun berupa dongeng-dongeng Indonesia, Dongeng-dongeng Mancanegara, Kisah-kisah Klasik Barat, Kisah-kisah Modern Indonesia, Kisah-kisah Modern Terjemahan, Pengetahuan Populer serta Biografi Orang-Orang Terkenal, dan Seri Pustaka Prosa berupa Buku-buku Roman Asli, Buku-buku Roman Terjemahan, serta Kumpulan Cerita Pendek. Seri lainnya Pustaka Sarjana, Pustaka Puisi, Pustaka Drama, Pustaka Esei dan Kritik, Pustaka Islam, Pustaka Seni dan Pustaka Daerah (Sunda dan Jawa).

Dari 900-an judul itu, sebutlah karya-karya awal WS Rendra terutama Sajak-Sajak Sepatu Tua. Kemudian Multatuli, Nh. Dini, Sutan Takdir Alisyahbana, Armjin Pane, Mochtar Lubis dan sederetan nama sastrawan yang kini mungkin telah tenggelam di tumpukan buku-buku bertema vampir, penyihir, dan orang muda kalangan metroseksual. Itu juga belum terhitung karya-karya intelektual seperti Profesor Sartono yang menulis Pemberontakan Petani Banten 1888 dalam seri Pustaka Sarjana.

Saya betul-betul tergerak saat Ajip Rosidi berbicara mengenai kesulitan yang kini dihadapi Pustaka Jaya. “Saya ingin Pustaka Jaya bisa hidup, sehat, agar buku-bukunya dibeli oleh umum. Dan buku-buku itu penting dilihat dari segi kebudayaan. Dalam kondisi Pustaka Jaya sekarang, kami membutuhkan bantuan saudara-saudara sekalian supaya Pustaka Jaya paling tidak bisa bertahan sebagai penerbit yang konsisten menerbitkan buku-buku baik.”

Tak banyak yang tahu mengapa Ajip Rosidi bersikukuh untuk menerbitkan buku-buku yang baik. Rupanya Ajip berupaya konsisten untuk menjaga semangat yang dulu mengawali lahirnya Pustaka Jaya ini. Pada tahun 1971, situasi penerbitan buku-buku pada saat itu mengalami kemacetan dan minat baca masyarakat sangat rendah. Penerbitan pemerintah tak ada yang bisa berbuat banyak, sementara dari kalangan swasta tidak ada yang berani tampil karena resikonya memang terlalu besar untuk menerbitkan buku-buku bermutu. Yang berlaku saat itu adalah banjir buku pop. Sejumlah nama seperti Asrul Sani, Ajip Rosidi, Ir. Ciputra pun membentuk penerbitan Pustaka Jaya dengan visi dan misi menjadikan buku sebagai bagian dari kebudayaan.

Kini 40 tahun selepas  awal pendiriannya, situasi perbukuan sedikit berubah dengan kompetisi yang makin berat. Arus dunia bestsellerism telah banyak menimbulkan krisis keuangan penerbit-penerbit lama, seperti Djambatan, Balai Pustaka, Pradnya Paramita, dan sekarang Pustaka Jaya. Terhadap yang terakhir ini, sedang diupayakan sebuah gerakan para pembaca dengan tajuk Demi Pustaka Jaya dan bergiat berkampanye lewat social media dengan tanda pagar #SavePustakaJaya.

Inisiatif penyelamatan ini menandakan pembaca, seandainya mau, dapat menyelamatkan Pustaka Jaya dari ancaman bahaya. Sejak diluncurkan bulan Oktober lalu, para pembaca berupaya menggalang pembelian buku-buku Pustaka Jaya yang teronggok di gudang, mengumpulkan apresiasi dan testimoni dari masyarakat, juga melakukan kampanye membaca lagi karya-karya Pustaka Jaya. Saya tidak bisa meramalkan keberhasilan gerakan ini, tetapi saya pikir gerakan ini perlu didukung oleh kalangan masyarakat yang lebih luas. Taruhannya jelas, karya-karya yang memberi identitas bangsa akan musnah seandainya Pustaka Jaya binasa. Semoga saja tidak demikian.

Untuk melihat kiprah para pembaca, silakan berkunjung ke blog Demi Pustaka Jaya http://demipustakajaya.wordpress.com

Atau ikuti updatenya di Facebook Pages http://www.facebook.com/PustakaJaya atau twitter dengan tanda pagar #SavePustakaJaya

Video Ajip Rosidi: http://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=OsXrnONtnoM

Tinggalkan komentar