Rasa Aman Itu Harus Diperjuangkan Sendiri

“Pemimpin, ketika ia berhasil membuat orang-orang yg dipimpinnya mengeluarkan hal-hal baik yang tersimpan di dalam diri mereka.”

— Uci Galuh Kesumanjati

rasaaman

rasaaman

MASA TENANG pasca 5 Juli 2014 memberi jarak bagi saya untuk berpikir lagi tentang apa yang terjadi belakangan ini, terlebih untuk mengetahui apa sebetulnya isu yang paling utama dipersoalkan orang dalam Pemilihan Presiden ke-7 republik ini. Buat kita, sebetulnya isu utamanya bukan perebutan kekuasaan. Itu isu mereka yang berada dalam gerbong kekuasaan. Kontes siapa yang paling keren visi dan misinya, yang dianggap sebagai representasi dari sosok yang akan memimpin, juga bukanlah kepandaian kita. Visi dan misi itu lebih baik dibedah oleh akademisi dan teknokrat yang terbiasa dalam pola pengambilan kebijakan makro di level negara.

Menurut saya, isu utama yang paling dipersoalkan oleh kita adalah sense of security atau rasa aman. Kebutuhan akan rasa aman merupakan kebutuhan di anak tangga kedua dari piramida Hirarki Kebutuhan yang ditulis oleh Abraham Maslow. Persis di bawah rasa aman, di tingkat dasar, adalah kebutuhan dasar: bebas dari rasa lapar/haus. Meski semua kebutuhan pangan kita kebanyakan diimpor dari negara lain, namun kita tidak sedang menghadapi masalah dasar tersebut karena justru kebutuhan akan rasa amanlah yang lebih dibutuhkan saat ini.

Setelah 16 tahun lalu kita berhasil menumbangkan Soeharto, banyak orang berharap rasa aman akan datang begitu saja. Ingatlah bagaimana dulu kita menghadapi euforia — rasa gembira yang meluap-luap– dan berharap semua masalah yang telah terjadi sebelumnya di masa Orde Baru selesai dengan sendirinya: kemiskinan, KKN/Korupsi-Kolusi-Nepotisme, pembelengguan informasi, marjinalisasi masyarakat miskin dan terpinggirkan, dll. Ingatlah bagaimana dulu kita juga menyaksikan gegap gempita kehidupan berekspresi dan berpendapat yang terjadi nyaris serentak di pelbagai tempat di tanah air ditandai dengan “boom media massa” dan penyelenggaraan kegiatan kebudayaan Tionghoa yang diizinkan lagi setelah diberangus 32 tahun. Ingatlah bagaimana kemudian boom media massa itu bukan memberikan rasa yang menyenangkan, tetapi malah melahirkan berita-berita tak terverifikasi dengan baik sehinggu suasana terasa keruh.

Ingatlah juga selama 16 tahun, KKN dan kemiskinan bukannya makin terhapuskan, justru makin lebih meluas. Korupsi yang tadinya di zaman Orde Baru dilakukan “di bawah meja dan diam-diam”, pada masa kini lebih sering dilakukan “di atas meja”, artinya terang-terangan dan blak-blakkan. KKN baru mulai berkurang setelah ada lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK yang sampai detik ini masih berjuang menangkap dan memenjarakan maling-maling uang negara dan merugikan kita. Tetapi di luar soal korupsi, rasa aman seolah-olah absen dari kehidupan kita. Banyak dari masyarakat kita yang kemudian menganggap rasa aman itu hanya “ilusi” saja.

Mengapa ilusi? Karena dianggap selama bertahun-tahun negara tidak hadir untuk memberikan jaminan keamanan tersebut bagi kita. Memang kita memiliki lembaga seperti kepolisian, kejaksaan, kehakiman, tetapi semua kita tahu, kehadiran mereka tidak tegak berdiri setiap kali terjadi kasus perampasan hak rakyat. Oligarki kekuasaan merangkul mereka menjadi sahabat dan tanpa sadar menjauhkan mereka yang bisa memberikan rasa aman itu dari rakyat yang lemah dan membutuhkannya. Tapi rasa aman itu ternyata bukan ilusi. Ia ada. Rakyat sudah lama mencarinya sendiri dan kemudian merasa nyaman dengan ‘keamanan’ versi mereka sendiri yang jauh dari sempurna. Rakyat kemudian menganggap negeri ini berjalan secara auto-pilot. Dengan atau tidak adanya presiden yang seharusnya menahkodai negara ini, tidak lagi soal, karena masyarakat akhirnya belajar untuk memenuhi kebutuhan akan rasa aman itu sendiri. Namun, itu tidak cukup.

Kita menginginkan, lebih tepatnya mendambakan, rasa aman yang sesungguhnya. Dengan rasa aman, hidup lebih tenang. Bisnis lebih berjalan. Beragama lebih khusyuk. Hidup bisa lebih direncanakan tanpa khawatir berubah. Kita tidak sedang hidup di zaman food gathering dimana ketika rasa aman hilang bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Tidak. Maka dari sinilah sebetulnya kita bisa melihat bagaimana masyarakat merespon kampanye dalam Pilpres 2014 ini.

Berbeda dengan opini orang/media, menurut saya dalam pemilu kali ini bukan demokrasi yang sedang dalam pertaruhan, tetapi rasa aman itu sendiri. Demokrasi selalu dipertaruhkan setiap lima tahun sekali, selalu ada pihak yang bersaing di mana yang satu bisa dianggap merugikan dan yang lain tidak, dan selama ini kita sudah melihat tidak begitu banyak orang merasa harus terlibat di dalam pemilu yang rutin diadakan sejak tahun 1999. Rasa aman yang sesungguhnya itu bisa terjadi atau kembali lagi hilang diganti oleh tirani yang otoriter seperti Soeharto.

Maka, pertanyaan terutama dalam Pilpres 2014 ini adalah: “Siapa pemimpin yang bisa memberikan rasa aman?” Kita bisa melihat bagaimana masing-masing kandidat memberikan jaminan keamanan dalam hal ekonomi, hukum, demokrasi dan HAM, beragama, kedaulatan negara, ketersediaan pangan, kebijakan lingkungan, dll. Bagaimana kita meresponnya? Beberapa dari kita suka dengan gagasan mengusung kembali keamanan yang pernah dijalankan oleh Soeharto dan Orde Baru. Itu artinya, segalanya akan dilakukan demi berjalannya pembangunan. Sementara banyak dari kita, lebih banyak suka dengan gagasan “memanusiakan manusia”, pendekatan baru yang lebih dialogis.

Sebetulnya itu saja pokok perbedaan kita. Namun gesekan kian keras sampai H-1 Pilpres 2014 karena disertai dengan bebas berkeliarannya fitnah, intimidasi, politik uang, bahkan sampai ancaman pembunuhan terbuka. Gesekan inilah yang membuat kita tersentak karena itulah taruhan utamanya. Rasa aman kita digerus terus-menerus hingga ke titik terendah sehingga membuat kita gerah dan ingin Pilpres 2014 ini lekas selesai agar rasa aman bisa menjadi nyata.

Tetapi untuk sampai pada yang diinginkan itu ternyata tidak mudah jalannya. Situasi kecurangan pada TPS-TPS hingga perhitungan suara secara nasional bisa mengancam kita. Belum lagi politik uang dan fitnah yang tetap berlangsung di hari-hari tenang ini. Sementara itu ada pengkondisian dengan menyebarkan isu-isu akan terjadinya kekacauan semacam kerusuhan Mei 1998 pada dan setelah pilpres agar orang enggan menggunakan hak pilih atau malah membuatnya terpaksa memilih tidak sesuai hati nuraninya karena merasa takut. Itulah sebabnya, sekali lagi kita perlu ingat: “Rasa aman itu tidak bisa diharapkan datang begitu saja. Rasa aman itu harus diperjuangkan, rasa aman itu harus diciptakan, dan titik perjuangan kita untuk memastikan agar rasa aman yang sesungguhnya tercapai dimulai dengan satu langkah saja: memastikan langkah kaki kita ke TPS pada hari Rabu, 9 Juli 2014 nanti dan menggunakan hak pilih dengan bijak dan berani. Dengan atau tidak adanya ancaman.”

[dam]

Tinggalkan komentar